Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatera Barat. Dalam batas tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat Minang yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.
Adat adalah landasan bagi kekuasaan para Rajo atau Penghulu (pemimpin masyarakat adat), dan dipakai dalam menjalankan kepemimpinan masyarakat adat sehari-hari. Semua peraturan hukum dan perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam yang sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau.
Aturan adat dibangun berlandaskan pada tiga ketetapan utama adat Minangkabau. Dua ketetapan pertama ditetapkan oleh Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan, Yaitu:
Pertama: Ulayat Adat Milik Bersama. artinya tidak ada kepemilikan individu terhadap ulayat adat Minangkabau. Untuk pengaturan pemanfaatannya ditetapkan Niniekmamak sebagai pembuat kebijakan.
Kedua: Penurunan Ulayat Adat Pada Perempuan Garis Ibu. Kaum perempuan diamanahkan sebagai pemegang ulayat adat dan diturunkan kepada anak perempuannya sebagai pemegang estafet ulayat adat. Perempuan pemegang ulayat adat tersebut dikenal dengan istilah Bundokanduang.
Ketetapan ketiga Masyarakat Adat Minangkabau ditetapkan di puncak Pato Bukik Marapalam. Kesepakatan pemimpin adat dengan pemimpin agama islam, kaum ulama menyepakati penambahan satu ketapan adat untuk melengkapi dua ketatapan adat yang sudah ada sebelumnya, yaitu:
Ketiga: Islam Agama Masyarakat Adat Minangkabau. Akibat ketetapan ketiga tersebut di masyarakat adat lahir satu lagi kutup kepemimpinan masyarakat yang bertugas menjaga dan membimbing masyarakat dalam segi agama islam yaitu Alimulama.
Tiga ketetapan adat tersebut dikenal dengan "Tali Tigo Sapilin" adat Minangkabau, yang mengikat masyarakat adat sebagai satu kesatuan masyarakat adat Minangkabau.
Dengan demikian maka dianggap sempurnalah adat minangkabau, dua ketetapan adat yang tumbuh dari tanah disempurnakan dengan satu ketetapan yang datang dari langit, kesempurnaan ini dikenal dengan "Adat Nan Basandi Syaraka, Syarak Basandi Kitabullah" (ABS-SBK). Kepemimpinan masyarakat adat mengerucut pada tiga majlis musyawarah yang memiliki peran masing-masing dimasyarakat adat. Kelembagaan kepemimpinan itu dikenal dengan "Tungku Tigo Sajarangan" (TTS). Komponen TTS adalah yaitu:
Lembaga adat TTS tersebut ada pada tiap tingkatan komunitas yang memiliki ulayat adat, seperti "Komunitas Nagari" Pemilik "Ulayat Adat Nagari", "Komunitas Suku" pemilik "Ulayat Adat Suku" dan "Komunitas Kaum" pemilik "Ulayat Adat Kaum". Pimpinan tertinggi dari masing-masing komunitas tersebut adalah Pangulu, yaitu pemimpin yang di pilih dari kaum Ninikmamak sebagai pemimpin komunitas Kaum, suku atau Nagari.
Struktur masyarakat yang terbentuk oleh penerapan ketetapan adat tersebut terbangunlah sebuah masyarakat adat yang terpimpin yang melahirkan adegium adat tentang konsep kepemimpinan adalah: "Kamanakan Barajo Ka Mamak, Mamak Barajo Ka Pangulu, Pangulu Barajo Ka Mufakat, Mufakat Barajo Ka Nan Bana, Nan Bana berdiri sendiriNyo".
Seorang Rajo atau Penghulu memegang kekuasaan karena keturunan, dan kekuasaan itu menjadi sah karena didukung oleh para ulama yang memegang otoritas agama dalam masyarakat sebagai implementasi adagium Adat basandi syarak; Syarak basandi Kitabullah.
Masyarakat adat Minangkabau telah mengalami tiga periode besar kekuasaan yang meliputinya, yaitu: Kerajaan Pagaruyung Abad ke-14, Pemerintahan Kolonial Belanda abad ke-17 dan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945, sampai saat ini. Kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang didirikan oleh Aditiawarman, keluarga raja Majapahit.
Pada masa kolonialis Eropa, wilayah hukum Adat dibatasi hanya pada pengaturan jabatan Penghulu, kekuasaan atas Tanah Ulayat, peraturan waris, perkawinan, dan adat istiadat saja. Kekuasaan hukum, keamanan dan teritorial diambil alih oleh pemerintah kolonial.
Keadaan ini berlanjut sampai pada zaman kemerdekaan. Pada masa era Ordebaru pemerintahan Indonesia pemerintah menerapkan UU No.5 Tahun 1979, dimana nagari-nagari di Minangkabau dipecah-pecah menjadi beberapa desa sebagai pemerintahan terendah. Akibat dari penerapan tersebut terjadi pergesaran cara pandang terhadap Ulayat adat. Kepemilikan bersama Ulayat adat di eliminir dengan ketetapan peraturan pemerintah menjadi milik Ninikmamak Kapalo warih unt Ulayat Kaum, Pangulu Suku untuk Ulayat Suku dan Pangulu-pangulu Nagari untuk Ulayat Nagari.
Setelah berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah tahun 1999 dan gerakan Kembali ka Nagari, Adat Minang mendapat tempat yang lebih baik dan Nagari dijadikan sebagai salah satu pemerintahan terendah di Negara Indonesia. Namun upaya kembali untuk menegakkan adat minangkabau di nagari mengalami stagnasi, akibat kepemilikan ulayat adat tidak kembali dijadikan sebagai milik bersama.
Di bawah ini adalah ikhtisar Adat Minang, sering disebut Undang nan Empat, sebagaimana dipahami dan hidup dalam masyarkat Minangkabau.