Akal sehat, akal budi, nalar wajar, atau nalar umum adalah penilaian yang masuk akal dan praktis mengenai masalah sehari-hari atau kemampuan dasar untuk melihat, memahami, dan menilai dengan cara yang umumnya dimiliki oleh hampir semua orang.[1]
Pemahaman sehari-hari mengenai akal sehat berasal dari perbincangan filsafat sejarah yang melibatkan beberapa bahasa Eropa. Istilah terkait dalam bahasa lain termasuk Latin sensus communis, Yunani αἴσθησις κοινὴ (aísthēsis koinḕ), dan Prancis bon sens.[2]
"Akal sehat" juga mempunyai setidaknya dua makna filosofis secara khusus. Salah satunya adalah kemampuan jiwa hewan (ψῡχή, psūkhḗ) yang diusulkan oleh Aristoteles, yang memungkinkan indra individu yang berbeda untuk secara bersama melihat ciri-ciri benda fisik seperti gerakan dan ukuran, yang semua benda fisik miliki ada dalam kombinasi yang berbeda, memungkinkan orang dan hewan lain membedakan dan mengenali benda fisik. Akal sehat ini berbeda dari persepsi indrawi dasar dan dari pemikiran rasional manusia, tetapi bekerja sama dengan kedua-duanya. Penggunaan khusus kedua istilah ini dipengaruhi oleh Romawi dan digunakan untuk kepekaan alami manusia terhadap manusia lain dan komunitas.[3] Sama seperti makna sehari-hari, kedua-duanya mengacu pada jenis kesadaran dasar dan kemampuan untuk menilai bahwa kebanyakan orang diharapkan untuk berbagi secara alami, bahkan jika mereka tidak dapat menjelaskan alasannya. Semua makna "akal sehat", termasuk makna sehari-hari, saling berhubungan dalam sejarah yang kompleks dan telah berkembang selama debat politik dan filsafat yang penting dalam peradaban Barat, terutama yang berkaitan dengan sains, politik, dan ekonomi.[4]
Sejak Abad Pencerahan, istilah "akal sehat" telah digunakan untuk efek retoris, baik secara setuju sebagai standar untuk selera yang baik dan sumber aksioma ilmiah dan logis, maupun secara tidak setuju setara dengan prasangka kasar dan takhayul.[5] Pada awal abad ke-18, istilah filsafat ini pertama kali memperoleh makna modern: "Kebenaran-kebenaran yang jelas dan terbukti dengan sendirinya atau kearifan lazim yang tidak memerlukan kecanggihan untuk dipahami dan tidak ada bukti untuk diterima dengan tepat karena sangat cocok dengan kemampuan intelektual dasar (akal sehat) dan pengalaman seluruh tubuh sosial."[6] Ini dimulai dengan kritik Descartes terhadapnya, dan yang kemudian dikenal sebagai perselisihan antara "rasionalisme" dan "empirisme". Dalam baris pembuka salah satu bukunya yang paling terkenal, Wacana Tentang Metode, Descartes menetapkan makna modern yang paling umum dan kontroversinya ketika ia menyatakan bahwa setiap orang mempunyai akal sehat (bon sens) yang sama dan memadai, tetapi jarang digunakan dengan baik. Oleh sebab itu, metode logis skeptis yang diterangkan oleh Descartes perlu diikuti dan akal sehat tidak boleh terlalu diandalkan.[7] Pada Zaman Pencerahan abad ke-18 yang berikutnya, akal sehat mulai dilihat secara lebih positif sebagai dasar pemikiran modern. Ini berkontras dengan metafisika yang dikaitkan dengan Rezim Kuno seperti Kartesianisme. Pamflet polemik Common Sense (1776) Thomas Paine telah digambarkan sebagai pamflet politik paling berpengaruh pada abad ke-18 yang memengaruhi revolusi Amerika dan Prancis.[5] Pada saat ini, konsep akal sehat dan cara terbaik untuk menggunakannya tetap dihubungkan dengan banyak topik yang paling abadi dalam epistemologi dan etika dengan fokus khusus yang sering diarahkan pada filsafat ilmu sosial modern.
"Dari semua hal dalam kalangan manusia, akal sehat adalah yang paling merata karena setiap orang menganggap dirinya begitu banyak dikaruniai dengan hal itu sehingga mereka yang bahkan paling sulit untuk dipuaskan dengan segala hal yang lain, biasanya tidak menginginkan ukuran yang lebih besar dari sifat ini daripada yang telah mereka punyai. Tidak mungkin semua salah dalam hal ini: keyakinan lebih dianggap sebagai kesaksian bahwa kekuatan menilai dengan benar dan membedakan kebenaran dari kesalahan, yang disebut secara tepat sebagai pikiran sehat atau akal pada dasarnya sama dalam semua manusia. Akibatnya, keragaman pendapat kita tidak muncul dari beberapa yang dikaruniai dengan bagian akal yang lebih besar daripada yang lain, tetapi kita mengarahkan pikiran kita semata-mata dari ini dan tidak memusatkan perhatian kita pada objek yang sama. Oleh sebab mempunyai pikiran yang kuat saja tidaklah cukup, syarat utama adalah menerapkannya dengan benar. Pikiran terhebat karena mereka mampu mencapai kecemerlangan tertinggi, juga terbuka terhadap penyimpangan terbesar. Mereka yang berjalan dengan sangat lambat dapat membuat kemajuan yang jauh lebih besar asalkan mereka selalu berada di jalan yang lurus daripada mereka yang meninggalkannya ketika mereka berlari."