Arat Sabulungan

Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia, teristimewa orang Sakuddei di pulau Siberut.[1][2] Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun. Sebutan Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua.[3]

Awalnya, istilah arat tidak dipergunakan dan nama yang lebih sering dipakai adalah punen yang memiliki arti kegiatan, upacara, atau pesta. Seiring berjalannya waktu, diperkenalkanlah istilah arat pada era 1950-an untuk menyebut kepercayaan ini. Jadi, kata arat mewakili kepercayaan atau ideologi sementara punen lebih sering mengacu pada perayaan seremonial dan upacara.[4]

Dipakainya istilah arat dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah dan para misionaris untuk menyebut berbagai agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional. Sabulungan kemudian dikategorikan sebagai agama setelah ditambahkan istilah arat. Istilah ini juga diberikan kepada agama yang dibawa dari luar Mentawai seperti arat Katolik, arat Protestan, dan arat Islam.[4]

Kepercayaan Arat Sabulungan mengandung dua keyakinan, yaitu keyakinan mengenai adanya hubungan gaib antara berbagai hal yang berbeda. Kemudian keyakinan kedua adalah adanya kekuatan gaib yang memiliki kesaktian namun tidak berkemauan dalam alam sekitar manusia.[2] Meski mayoritas masyarakat Mentawai sudah menganut agama Katolik di sampung Protestan, Islam, atau Baha'i, kepercayaan Arat Sabulungan masih mampu bertahan bersama sebagian penganutnya,[3]

Arat Sabulungan mengajarkan agar adanya keseimbangan antara alam dan manusia. Artinya, manusia sudah semestinya memperlakukan alam dan seisinya seperti tumbuh-tumbuhan, air, dan hewan seperti mereka memperlakukan dirinya sendiri. Ajaran mengenai keseimbangan manusia dan alam terefleksi dari bagaimana alam dimaknai oleh penganutnya. Alam dianggap sebagai tempat bersemayamnya para dewa sehingga harus dihormati. Jika sikap hormat itu tidak ada, maka manusia akan ditimpa malapetaka.[3] Menurut antropolog Reimar Schefold, wawasan orang Mentawai mengenai alam lingkungan dan jagat raya tidak berasal dari cerita dongeng, melainkan dari kisah yang benar-benar pernah terjadi.[5]

Pada zaman dahulu, Arat Sabulungan menjadi patokan norma untuk mengatur hubungan antara manusia dan alam serta dalam hubungan batin dengan tuhan. Dari sini, kemudian terjalin sikap hormat orang Mentawai terhadap alam. Jika alam dirusak, maka pemiliknya yang memiliki kekuatan sangat besar pun akan mengirim bencana. Pelanggaran terhadap aturan pun akan berakibat hukuman. Hukuman ini ditentukan melalui musyawarah di uma. Jika ada satu orang yang melanggar, maka seluruh anggota masyarakat juga dianggap akan terkena dampaknya.[3]

  1. ^ Schefold 1980; Schefold 1988, hlm. 5–22.
  2. ^ a b "Arat Sabulungan; Kepercayaan Orang Mentawai". WACANA (dalam bahasa Inggris). 2013-05-16. Diakses tanggal 2019-04-09. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ a b c d "Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai yang Nyaris Punah". Sportourism.id. Diakses tanggal 2019-04-09. [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b Kornelius Glossanto, (2019), Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas Religi Orang Mentawai di Siberut Selatan,Tesis Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Hal.39-101.
  5. ^ "Kisah Penggulungan Arat Sabulungan, Agama Asli Mentawai | Padangkita.com". Berita Sumatera Barat Terkini. 2017-11-08. Diakses tanggal 2019-04-09. 

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy