Gelembung ekonomi (economic bubble), gelembung spekulatif, atau gelembung keuangan adalah "perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya."[1][2] (Dalam kata lain: memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.)
Walaupun beberapa ahli ekonomi menyangkal adanya gelembung ekonomi,[3] penyebab gelembung tetap menjadi tantangan untuk diteliti bagi mereka yang yakin bahwa harga aset sangat sering menyimpang dari nilai intrinsiknya.
Meskipun ada banyak penjelasan tentang penyebab gelembung ekonomi, belakangan ini diketahui bahwa gelembung dapat muncul bahkan tanpa didahului ketidakpastian,[4] spekulasi,[5] atau rasionalitas terbatas.[6] Penjelasan lain mengatakan bahwa gelembung ekonomi mungkin disebabkan oleh proses koordinasi harga[7] atau norma-norma sosial yang baru muncul.[6]
Mendapatkan nilai intrinsik sering sulit dilakukan dalam keadaan nyata di pasar, sehingga gelembung ekonomi sering hanya dapat ditemukan dan diidentifikasi dengan pasti secara retrospektif, yaitu ketika terjadi penurunan harga secara tiba-tiba. Keadaan anjloknya harga disebut keruntuhan (crash) atau "pecahnya gelembung". Fase "ledakan" ekonomi maupun resesi dalam suatu ekonomi gelembung adalah contoh-contoh dari mekanisme umpan balik positif yang membedakannya dari mekanisme umpan balik negatif yang menentukan harga keseimbangan dalam keadaan pasar normal. Harga-harga dalam gelembung ekonomi dapat berfluktuasi dengan tidak menentu, dan menjadi tidak mungkin untuk memprediksinya hanya berdasarkan penawaran dan permintaan saja.
Ahli ekonomi menggunakan istilah "gelembung" untuk peningkatan harga aset secara ekstrem berdasarkan harapan kenaikan harga pada masa depan dan tanpa dukungan fundamental ekonomi, dan lazimnya diikuti kenyataan yang bertolak belakang dari harapan, dan anjloknya harga-harga.[8] Tulip mania di Belanda (1646) dan gelembung saham South Sea Company (1719-1720) adalah contoh tipikal dari gelembung spekulasi. Terdapat juga kemungkinan adanya hubungan antara inovasi dengan terciptanya krisis Tulip.[9] Di Jepang, penggelembungan harga aset terjadi pada akhir 1980-an.