Harmoko | |
---|---|
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-10 | |
Masa jabatan 1 Oktober 1997 – 30 September 1999 | |
Presiden | Soeharto Bacharuddin Jusuf Habibie |
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ke-12 | |
Masa jabatan 1 Oktober 1997 – 30 September 1999 | |
Presiden | Soeharto Bacharuddin Jusuf Habibie |
Menteri Penerangan Indonesia ke-22 | |
Masa jabatan 19 Maret 1983 – 16 Maret 1997 | |
Presiden | Soeharto |
Ketua Umum Golongan Karya ke-6 | |
Masa jabatan 24 Oktober 1993 – 11 Juli 1998 | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Patianrowo, Nganjuk, Hindia Belanda | 7 Februari 1939
Meninggal | 4 Juli 2021 Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta, Indonesia | (umur 82)
Sebab kematian | COVID-19 |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta[1] |
Partai politik | Partai Golongan Karya 1977 - 2007 |
Afiliasi politik lainnya | Partai Kerakyatan Nasional (2007–2008) |
Suami/istri | Sri Romadhiyati
(m. 1972; meninggal 2021) |
Orang tua |
|
Tempat tinggal | Jalan Taman Patra XII, Setiabudi, Jakarta |
Profesi | Wartawan Politikus |
Sunting kotak info • L • B |
Tan Sri H. Harmoko[3] (7 Februari 1939 – 4 Juli 2021) adalah seorang politikus dan jurnalis Indonesia yang aktif pada masa Orde Baru. Ia menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari tahun 1997 sampai 1999, dan merupakan faktor mundurnya presiden Soeharto selama demonstrasi mahasiswa yang meluas yang terjadi pada akhir Orde Baru.
Lahir dari keluarga sederhana di Jawa Timur, pada 7 Februari 1939, Harmoko lulus dari sekolah jurnalistik, dan menjadi jurnalis. Ia aktif selama rezim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, bekerja di sejumlah surat kabar yang berbeda, termasuk Merdeka, Merdiko, dan Harian Mimbar Kita. Pada tahun 1970, ia mendirikan surat kabarnya sendiri, Poskota. Pada tahun 1970, ia terpilih sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) cabang Jakarta, dan dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai Ketua Umum PWI Pusat.
Dalam pemilihan umum 1977, Harmoko terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai anggota organisasi Golongan Karya (Golkar) yang berkuasa. Pada tahun 1983, ia diangkat Menteri Penerangan, kemungkinan karena latar belakangnya di jurnalisme. Kepiawaiannya dalam menjaga citra Orde Baru dan penampilan Suharto membuatnya dijuluki 'influencer-in-chief'. Pada tahun 1993, Harmoko terpilih sebagai Ketua Golkar, menjadi tokoh sipil pertama yang memegang jabatan tersebut. Pada Juni 1997, ia diangkat menjadi menteri negara untuk urusan khusus, jabatan yang dijabatnya hanya tiga bulan karena pada Oktober 1997, ia dipilih untuk menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Terlepas dari kesetiaan bertahun-tahun kepada Presiden Soeharto, setelah Kejatuhan Soeharto, Harmoko membuat kejutan besar pada konferensi pers dengan meminta presiden untuk mundur dalam waktu lima hari. Kemungkinan karena fakta bahwa dia mungkin kesal dengan pemecatannya sebagai menteri penerangan, pemecatannya sebagai calon wakil presiden, dan rumahnya dibakar oleh pengunjuk rasa. Soeharto melihat permintaan Harmoko sebagai pengkhianatan, sementara Tadjus Sobirin, mantan Ketua Umum Golkar Jakarta menyebut Harmoko "Brutus" saat rapat pimpinan partai, merujuk kepada senator Romawi Marcus Junius Brutus, yang membunuh paman buyutnya Julius Caesar. Harmoko meninggal pada tanggal 4 Juli 2021 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto karena COVID-19, dan dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata.