Artikel ini memberikan informasi dasar tentang topik kesehatan. |
Nama sistematis (IUPAC) | |
---|---|
2-Pyrrolidinone, 1-ethenyl-, homopolymer | |
Data klinis | |
Nama dagang | Betadine, Wokadine, Pyodine |
AHFS/Drugs.com | International Drug Names |
Kat. kehamilan | ? |
Status hukum | OTC |
Rute | Topikal |
Pengenal | |
Nomor CAS | 25655-41-8 |
Kode ATC | D08AG02 |
PubChem | CID 410087 |
UNII | 85H0HZU99M |
ChEMBL | CHEMBL1201724 |
Sinonim | iodopovidon |
Data kimia | |
Rumus | (C6H9NO)n·xI |
Massa mol. | variabel |
Iodin povidon, atau dikenal juga dengan iodopovidon, adalah suatu antiseptik yang dipergunakan sebagai disinfektan pada kulit sebelum dan sesudah pembedahan. Iodin povidon merupakan bahan organik berbahan aktif polivinil pirolidon yang merupakan kompleks iodine yang larut dalam air. Sebagai bakterisida yang juga membunuh spora, jamur, virus dan sporozoa. Iodin povidon diabsorbsi secara sistemik sebagai iodin, dengan jumlah yang tergantung konsentrasi, rute pemberian dan karakter kulit.[1]
Iodin pertama kali ditemukan oleh kimiawan Prancis, Bernard Courtois, pada tahun 1811 berupa kristal berwarna gelap yang terbentuk dari asap ungu hasil reaksi asam sulfat dengan sisa abu rumput laut yang sebelumnya dipergunakan untuk mengisolasi sodium karbonat sebagai bahan dasar pembuatan mesiu.[2] Pada Perang Dunia Pertama yang berlangsung pada tahun 1914-1918, ilmuwan Skotlandia, Alexander Fleming, menemukan bahwa iodin lebih efektif dalam menekan risiko timbulnya ganggren pada luka yang diderita oleh para prajurit dibandingkan dengan asam karbol.[3] Kendati demikian, iodin dirasakan masih memiliki kekurangan karena tidak larut dalam air. Oleh karena itu, iodin menjadi tidak stabil, sehingga para apoteker saat itu kerap menambahkan alkohol hingga 70%. Padahal, kadar alkohol yang tinggi justru berisiko memperlambat penyembuhan luka itu sendiri.
Iodin povidon ditemukan pada tahun 1955 di Industrial Toxicology Laboratories di Philadelphia oleh H. A. Shelanski dan M. V. Shelanski.[4] Mereka menjalankan serangkaian tes in vitro untuk mendemonstrasikan aktivitas anti-bakteri, dan menemukan bahwa kompleks tersebut lebih tidak beracun dibandingkan dengan tingtur iodin. Percobaan klinis pada manusia menunjukkan bahwa produk tersebut lebih superior dibandingkan dengan formulasi iodin lainnya.[5]
Efek samping yang ditimbulkannya termasuk iritasi kulit. Jika dipergunakan dalam dosis besar untuk luka yang luas bisa mengakibatkan gangguan pada ginjal, tingginya sodium pada darah dan asidosis metabolik. Penggunaannya tidak dianjurkan untuk ibu hamil dengan usia kandungan di bawah 32 minggu, atau pasien yang menjalani pengobatan dengan lithium. Penderita gangguan tiroid juga tidak dianjurkan memakai iodin povidon terlalu sering.[6]
Iodin povidon terdaftar dalam Daftar Obat Esensial Organisasi Kesehatan Dunia sebagai salah satu obat-obatan yang paling efektif dan aman dalam sistem kesehatan,[7] di mana saat ini tersedia sebagai obat bebas dan dipasarkan oleh beragam produsen dengan berbagai merek dagang.[6]