Kebebasan pers di Indonesia

Unjuk rasa insan pers di Padang, Sumatera Barat menolak praktik pembatasan kebebasan pers

Kebebasan pers di Indonesia merupakan bagian dari budaya politik Indonesia.[1] Kebebasan pers di Indonesia dilandasi oleh Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang melindungi kebebasan penggunaan berbagai media dalam hal mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Landasan hukum mengenai kebebasan pers di Indonesia secara jelas dibahas dalam beberapa Undang-Undang Negara Indonesia yang dibuat setelah era reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Undang-Undang Pers). Penetapan kebebasan pers di Indonesia sejalan dengan bentuk pemerintahan yang diterapkan yaitu demokrasi.[2]

Jaminan kebebasan pers di Indonesia diterapkan sejak negara Indonesia. Pemaknaan mengenai kebebasan pers di Indonesia pada tiap era pemerintahan bersifat berlainan dan ada pula yang bertentangan.[3] Pada masa pemerintahan Soekarno, kebebasan pers di Indonesia diberikan tetapi dibatasi. Tujuan pembatasannya adalah untuk penguatan status quo negara Indonesia. Keseimbangan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif serta kendali publik belum diutamakan. Arah kebebasan pers pada masa pemerintahan Soekarno juga masih berpusat kepada pemerintahan dan bukan kepada pengelola media dan konsumen pers.[3] Kemudian, pada masa Orde Baru, kewenangan pengendalian kebebasan pers di Indonesia awalnya diatur oleh Departemen Penerangan.[4]

Setelah Undang-Undang Pers diberlakukan pada masa reformasi, kewenangan pengawasan dan pengendalian atas kebebasan pers di Indonesia diberikan kepada Dewan Pers.[4] Pada periode ini juga bermunculan berbagai macam media cetak dan elektronik. Era reformasi pun menjadi masa keterbukaan pers di Indonesia. Pers mulai menyampaikan kritik atas kinerja pemerintah Indonesia.[5] Keterbukaan pers di Indonesia setelah era reformasi juga mengalami kondisi yang berubah-ubah berkaitan dengan fungsi pengendalian sosial pers atas pemerintahan.[6]

Kebebasan pers di Indonesia pada era reformasi turut dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi. Teknologi informasi memberikan dukungan bagi masyarakat awam untuk bisa menyampaikan pendapat serta memberikan dan menyebarkan informasi dengan lebih cepat. Media daring menjadi faktor pendukung utama dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan penyebaran informasi oleh masyarakat. Perkembangan media daring membentuk model baru atas kebebasan pers di Indonesia dalam bentuk jurnalisme warga yang dibangun melalui komunitas maya berbasis blog.[7] Namun, kebebasan pers di Indonesia masih mengalami pembatasan. Pembatasan-pembatasan tersebut beraneka ragam dari penyensoran dan pelarangan penerbitan hingga kriminalisasi dan ancaman kekerasan.[8]

Hingga tahun 2021, Indonesia menempati urutan ke-113 pada Indeks Kebebasan Pers versi Reporters Sans Frontieres.[9]

  1. ^ Nugroho dan Syarief 2012, hlm. 28.
  2. ^ Komala, Ratna (Desember 2017). "Menunggu Wujud Nyata Kemerdekaan Pers" (PDF). Jurnal Dewan Pers (edisi ke-16). Sekretariat Dewan Pers: 9. ISSN 2085-6199. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-06-02. Diakses tanggal 2021-07-25. 
  3. ^ a b Efendi 2010, hlm. 35.
  4. ^ a b Nugroho dan Syarief 2012, hlm. 38-39.
  5. ^ Efendi 2010, hlm. 30.
  6. ^ Efendi 2010, hlm. 32.
  7. ^ Wibawa 2020, hlm. 8.
  8. ^ Muchtar dan Koban 2010, hlm. 2-3.
  9. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama rsf

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy