Kerajaan Bangkalaan كراجأن بغكالأن | |
---|---|
1780–1905 | |
Agama | Islam Sunni |
Pemerintahan | Monarki |
Raja | |
• 1780–1800 | ♂ Sultan Sepuh |
• 1800-1820 | ♂ Ratu Agung |
• 1820-? | ♂ Pangeran Seria |
• 1820-1830 | ♀ Gusti Besar |
• 1830-1860 | ♂ Gusti Kamir |
• 1838-1840 | ♂ Pangeran Haji Musa |
• 1840-1841 | ♂ Pangeran Aji Jawi/Raja Jawa |
• 1845 | ♀ Ratu Intan II (Ratu Agung) |
• 1845-1846 | ♂ Pangeran Agung |
• 1846 | ♂ Pangeran Muda Muhammad Arifbillah |
• 1884-1905 | ♂ Pangeran Arga Kasuma |
Sejarah | |
• Didirikan | 1780 |
• Dibubarkan | 1905 |
Sekarang bagian dari | Indonesia |
Kerajaan Kepangeranan Bangkalaan, setelah bergabung dengan Hindia Belanda disebut Landschap Bangkalaan adalah Landschap atau suatu wilayah pemerintahan sipil yang dikepalai seorang bumiputera bagian dari Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di bawah kekuasaan Asisten Residen GH Dahmen yang berkedudukan di Samarinda.[butuh rujukan] Pemerintah swapraja daerah tersebut dikuasakan kepada seorang kepala bumiputera yaitu Pangeran Muda Muhammad Arifbillah (Aji Samarang). Daerah ini sebelumnya adalah kerajaan Suku Dayak Bangkalaan yang berdiri di Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sekarang wilayah kerajaan ini menjadi beberapa desa di Kabupaten Kotabaru yaitu Kecamatan Kelumpang Hulu. Raja yang terkenal dari daerah ini adalah Pangeran Agung atau Raja Agung.[butuh rujukan]
Suku Dayak Bangkalaan memiliki gua sarang walet di Gua Temualuang.[butuh rujukan] Gua tersebut menjadi tempat untuk mengambil banyu dudus yang dipakai dalam upacara adat kerajaan tersebut.[butuh rujukan] Ketika Raja Batu Ganting memeluk Islam (Bangkalaan Melayu), Gua Temuluang tersebut diserahkan kepada suku Dayak Bangkalaan yang masih memeluk kepercayaan tradisional masyarakat setempat. Kerajaan Bangkalaan didirikan Kerajaan Paser dan kerajaan banjar.[1]