Kesultanan Gunung Tabur كسولطانن ڬونوڠ تابور | |||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1810–1960 | |||||||||
Status | Protektorat di bawah Kerajaan Belanda (sejak 1837) | ||||||||
Ibu kota | Gunung Tabur | ||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu, Berau | ||||||||
Agama | Islam Sunni (resmi) Animisme | ||||||||
Pemerintahan | Monarki Kesultanan | ||||||||
Sultan | |||||||||
• 1810 – 1834 | Zainal Abidin II bin Badaruddin | ||||||||
• 1951 – 1960 | Aji Raden Muhammad Ayub | ||||||||
• 2016 – sekarang | Aji Raden Muhammad Bachrul Hadi | ||||||||
Sejarah | |||||||||
• Didirikan | 1810 | ||||||||
• Menjadi protektorat Kerajaan Belanda | 1837 | ||||||||
• Swapraja di bawah Daerah Istimewa Berau | 1953 | ||||||||
• Kesultanan dihapuskan | 1960 | ||||||||
| |||||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||||
Kesultanan Gunung Tabur adalah salah satu kesultanan yang terbentuk akibat pecahnya Kesultanan Berau pada awal abad ke-19 dan terletak di Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur.[1] Selama Perang Dunia II tahun 1945, Istana Gunung Tabur dibom oleh sekutu dan tidak ada bagian dari istana yang tersisa. Pada tahun 1990, Istana Gunung Tabur dibangun kembali dan dijadikan sebagai museum yang diberi nama Museum Batiwakkal yang diresmikan pada tahun 1992.