Keyakinan dalam Buddhisme

Altar di Pusdiklat Buddhis Sikkhādama Santibhūmi, Tangerang, Jawa Barat, Indonesia. Rupang Buddha sebagai simbol Buddha, Dharmacakra di belakang kepala Buddha sebagai simbol Dhamma, dan dua murid teladan-Nya (Sariputta dan Moggallana) di kedua sisi sebagai simbol Saṅgha.
Terjemahan dari
Keyakinan atau Iman
Palisaddhā
Sanskritśraddhā
Tionghoa(T&S)
(Pinyinxìn)
Jepang
(rōmaji: shin)
Korea믿음
(RR: sin-eum)
Tibetanདད་པ
(Wylie: dad pa
THL: dat pa
)
Bengaliশ্রাদ্ধের
Thaiศรัทธา
(RTGS: satthaa)
Vietnamđức tin
Sinhalaශ්‍රද්ධ
Daftar Istilah Buddhis

Dalam Buddhisme, keyakinan atau iman (bahasa Pali: saddhā, Sanskerta: śraddhā) mengacu pada iman kepada Tiga Permata, yaitu Buddha, Dhamma, dan Saṅgha. Keyakinan tidak hanya terhadap suatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi karma dan kemungkinan mencapai kecerahan. Keyakinan dipandang sebagai komitmen untuk mempraktikkan ajaran Buddha, seperti bederma (dāna), moralitas (sīla), dan meditasi (bhāvanā) secara berkelanjutan.

Kitab komentar untuk Abhidhamma Piṭaka menjelaskan definisi saddhā sebagai suatu faktor-mental dalam empat batasan:[1]

  • Karakteristik (lakkhaṇa): meyakini (saddahana) atau memercayai (okappana) objeknya.
  • Fungsi (rasa): untuk menjernihkan (pasādana) hati dari kotoran-kotoran batin atau untuk melompati (pakkhandana) hal-hal sulit.
  • Manifestasi (paccupaṭṭhāna): bebas dari kotoran (akālussiya), atau keputusan/ketetapan hati (adhimutti).
  • Sebab-terdekat (padaṭṭhāna): objek yang pantas untuk memunculkan keyakinan (saddheyyavatthu), yaitu Tiga Permata, atau faktor-faktor Pengarungan Arus (sotāpattiyaṅga).

Keyakinan adalah faktor-mental yang memercayai (saddahati) objek. Faktor-mental keyakinan dalam Buddhisme bukanlah kepercayaan yang memerlukan kepatuhan buta (amūlika-saddhā) dengan mengesampingkan fakta, investigasi, dan kebijaksanaan. Seseorang juga tidak akan bisa menyakiti makhluk lain atas dasar keyakinannya.

Dalam Buddhisme awal dan aliran Theravāda, keyakinan dipusatkan pada iman kepada kecerahan Buddha (tathāgatabodhi-saddhā) atau, secara alternatif, kepada Tiga Permata (ratanattaya-saddhā):[1][2][3][4][5]

  1. Iman kepada Buddha, yaitu meyakini para Buddha masa lalu, Buddha masa kini (Siddhattha Gotama), dan kedatangan bodhisatwa masa depan; juga pencapaian Kebuddhaan-Nya di Nibbāna.
  2. Iman kepada Dhamma, yaitu meyakini ajaran yang disampaikan oleh Buddha.
  3. Iman kepada Saṅgha, yaitu meyakini komunitas rahib yang didirikan oleh Buddha; mereka yang dianggap maju secara spiritual (ariya-saṅgha) atau komunitas konvensional yang berupaya mencapai kecerahan (sammuti-saṅgha).

Pada jenis klasifikasi di atas, iman kepada hukum karma merupakan bagian dari iman kepada Dhamma. Akan tetapi, beberapa bagian kitab suci juga secara spesifik merincikan iman kepada kepemilikan karma (kammassakatā-saddhā), yaitu meyakini bahwa semua makhluk bertanggung jawab atas perbuatan dan akibatnya masing-masing, sebagai dua poin tambahan:

  1. Iman kepada karma (kamma-saddhā), yaitu meyakini adanya perbuatan berkehendak yang secara moral dikategorikan sebagai baik atau buruk.
  2. Iman kepada buah karma (vipāka-saddhā), yaitu meyakini adanya akibat dari perbuatan berkehendak yang secara moral baik atau buruk.

Secara tradisional, pernyataan iman ditunjukkan dengan pengambilan perlindungan kepada Tiga Permata dalam syair "Tiga Perlindungan" (Tisaraṇa):[6][7][8]

Buddhaṁ saraṇaṁ gacchāmi,
Dhammaṁ saraṇaṁ gacchāmi
Saṅghaṁ saraṇaṁ gacchāmi

Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dhamma
Aku berlindung kepada Saṅgha

—Khuddakapāṭha 1, Khuddaka Nikāya

Seorang umat awam yang berlindung kepada Tiga Permata disebut upāsaka atau upāsika, sedangkan yang tidak berlindung kepada Tiga Permata disebut titthiya.

Sementara itu, agama Buddha awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada brahma dan dewa-dewi. Sepanjang sejarah agama Buddha, pemujaan brahma dan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan animis, kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, brahma dan dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Permata, yang masih terus memegang peran utama.

Pada masa berikutnya dalam sejarah agama Buddha, khususnya Buddha Mahāyāna, keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan bakti kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di Tanah Murni. Dengan berkembangnya bakti kepada Buddha Amitābha dan agama Buddha aliran Tanah Murni, keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik agama Buddha. Agama Buddha aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh Hōnen dan Shinran, bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah keyakinan penuh kepercayaan kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap selibasi, meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, umat Buddha Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan milenarian di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.

Dengan demikian, peran keyakinan terus meningkat sepanjang sejarah agama Buddha. Namun, semenjak abad ke-19, modernisme Buddhis di negara-negara seperti Sri Lanka dan Jepang (dan juga di dunia Barat) cenderung memandang rendah dan mengkritik peran keyakinan dalam agama Buddha. Keyakinan dalam agama Buddha masih memiliki peran di Asia dan negara-negara Barat pada zaman modern, tetapi dipahami dan diartikan secara berbeda, dengan nilai-nilai modern dan eklektisisme menjadi lebih penting. Di sisi lain, komunitas Buddha Dalit, khususnya gerakan Nawayana, menafsirkan konsep-konsep Buddhis melalui sudut pandang keadaan politik kaum Dalit, dan dalam gerakan tersebut terdapat ketegangan antara rasionalisme modern dengan praktik kebaktian setempat.

  1. ^ a b Kheminda, Ashin (2019-09-01). Manual Abhidhamma: Bab 2 Faktor-Faktor-Mental. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94342-7-4. 
  2. ^ Kheminda, Ashin (2020-02-01). KAMMA: Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal. Yayasan Dhammavihari. ISBN 978-623-94011-0-8. 
  3. ^ Wichian, Phurapha Phramaha (2016). "An investigation of the concept of Saddhā in Theravāda Buddhism and its significance in the modern world" (PDF). International Research Journal of Interdisciplinary & Multidisciplinary Studies (IRJIMS). Ph.D. scholar, Centre for Buddhist studies, University of Hyderabad, Hyderabad, India. II (III): 17–20. ISSN 2394-7969. 
  4. ^ Medhācitto, Tri Saputra (2022). Aspek Sosiologi dalam Sigālovāda Sutta (PDF). Semarang: Sekolah Tinggi Agama Buddha Syailendra. hlm. 46–48. ISBN 978-602-53319-9-2. 
  5. ^ Payutto, P. A. (2007). The Buddhist's Tenets: A Starting Point and a Unifying Point—A Convergence for Success and Prosperity (PDF). Nakhon Pathom: Wat Nyanavesakavan. hlm. 10–11. ISBN 9749414381. 
  6. ^ "SuttaCentral: Saraṇattaya". SuttaCentral (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2024-05-22. 
  7. ^ "The Threefold Refuge: tisarana". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 
  8. ^ "Refuge in the Buddha". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-22. 

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy