Penindasan Diokletianus

Doa Terakhir Para Martir Kristen, karya Jean-Léon Gérôme (1883)

Penganiayaan Diokletianus (bahasa Inggris: Diocletianic Persecution), atau Penganiayaan Besar (bahasa Inggris: Great Persecution), adalah penganiayaan atau penindasan terakhir dan yang paling berat terhadap umat Kristen di Kekaisaran Romawi.[1] Pada tahun 303, Kaisar Diokletianus, Maximianus, Galerius, dan Konstantius mengeluarkan serangkaian maklumat atau dekret yang mencabut hak hukum umat Kristen dan meminta agar mereka mengikuti praktik-praktik keagamaan Romawi tradisional. Maklumat-maklumat berikutnya menyasar kaum klerus dan memerintahkan semua penduduk untuk mempersembahkan kurban kepada para dewa Romawi (suatu kebijakan yang dikenal sebagai kurban universal). Penganiayaan ini bervariasi intensitasnya di seluruh kekaisaran—yang teringan di Galia dan Britania, tempat diberlakukannya maklumat pertama saja, dan yang terberat di provinsi-provinsi Timur. Hukum-hukum penganiayaan ditiadakan oleh beberapa kaisar pada waktu yang berlainan, tetapi Maklumat Milan (313) yang dikeluarkan oleh Konstantinus dan Lisinius secara umum menandai berakhirnya masa penganiayaan ini.[2]

Umat Kristen, atau Kristiani, telah sejak awal mengalami diskriminasi di dalam kekaisaran tersebut, namun para kaisar awal kemungkinan terlalu segan mengeluarkan hukum-hukum umum untuk menentang mereka, setidaknya pada abad ke-3 (lih. Krisis Abad Ketiga), atau terlalu disibukkan dengan berbagai isu yang lebih mendesak untuk diselesaikan. Pada tahun 250-an, di bawah pemerintahan Desius dan Valerianus, hukum-hukum demikian disahkan. Berdasarkan undang-undang ini, umat Kristen dipaksa untuk mempersembahkan kurban kepada para dewa Romawi atau menghadapi hukuman penjara dan eksekusi.[3] Ketika Gallienus naik takhta pada tahun 260, ia mengeluarkan maklumat kekaisaran yang pertama tentang toleransi terhadap umat Kristen,[4] sehingga menyebabkan mereka dapat hidup berdampingan dengan damai selama hampir 40 tahun. Naik takhtanya Diokletianus pada tahun 284 tidak segera menandai perubahan sikap mengesampingkan Kekristenan, bahkan sebaliknya mengindikasikan suatu perubahan sikap resmi secara bertahap terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan. Dalam lima belas tahun pertama pemerintahannya, Diokletianus menyingkirkan tentara penganut Kekristenan, menghukum mati kaum Manikean, dan mengelilingi dirinya dengan para lawan publik Kekristenan. Preferensi Diokletianus terhadap pemerintahan otokratis, dikombinasikan dengan citra dirinya sebagai pemulih kejayaan Romawi masa lalu, menjadi pertanda akan adanya penganiayaan yang paling ekstensif dalam sejarah Romawi. Pada musim dingin tahun 302, Galerius mendesak Diokletianus untuk memulai suatu penganiayaan umum terhadap umat Kristen. Diokletianus bersikap hati-hati, dan meminta bimbingan orakel Kuil Apollo atas hal ini. Tanggapan dari sang orakel ditafsirkan sebagai dukungan atas posisi Galerius, dan penganiayaan secara umum dimulai pada tanggal 24 Februari 303.

Kebijakan-kebijakan penganiayaan di seluruh kekaisaran bervariasi intensitasnya. Galerius dan Diokletianus bertindak sebagai para penganiaya yang penuh semangat, sedangkan Konstantius tidak antusias. Maklumat-maklumat penganiayaan, termasuk perintah untuk melakukan kurban universal, tidak diterapkan di dalam wilayah kekuasaannya. Konstantinus putranya naik takhta kekaisaran pada tahun 306, memulihkan sepenuhnya kesetaraan hukum umat Kristen dan mengembalikan milik mereka yang disita selama masa penganiayaan. Di Italia pada tahun 306, Maxentius mengambil alih kekuasaan Severus sebagai penerus Maximianus, dan ia menjanjikan toleransi beragama yang sepenuhnya. Galerius mengakhiri penganiayaan di Timur pada tahun 311, tetapi dilanjutkan kembali di Mesir, Palestina, dan Asia Kecil oleh Maximinus penggantinya. Konstantinus dan Lisinius, penerus Severus, menandatangani Maklumat Milan pada tahun 313, yang memberikan suatu penerimaan yang lebih komprehensif terhadap Kekristenan dibandingkan dengan maklumat Galerius yang telah ada. Lisinius mengambil alih kekuasaan Maximinus pada tahun 313, sehingga mengakhiri masa penganiayaan di Timur.

Penganiayaan yang telah terjadi gagal menghentikan bangkitnya Gereja. Pada tahun 324, Konstantinus merupakan penguasa tunggal kekaisaran dan Kekristenan telah menjadi agama favoritnya. Meskipun penganiayaan mengakibatkan kematian, penyiksaan, pemenjaraan, ataupun dislokasi bagi banyak umat Kristen, sebagian besar umat Kristen di dalam kekaisaran terhindar dari hukuman. Namun penganiayaan menyebabkan banyak gereja terbagi antara mereka yang mematuhi otoritas kekaisaran (traditores, "pengkhianat"), dan mereka yang tetap "murni". Beberapa skisma, seperti yang dilakukan kaum Donatis di Afrika Utara dan kaum Meletian di Mesir, tetap berlangsung hingga lama setelah masa penganiayaan. Kaum Donatis tidak berdamai dengan Gereja sampai setelah tahun 411. Dalam abad-abad berikutnya, beberapa sejarawan menganggap bahwa umat Kristen telah menciptakan suatu "kultus martir-martir" dan membesar-besarkan kebiadaban pada masa penganiayaan. Anggapan-anggapan itu dikritik selama Abad Pencerahan dan masa selanjutnya, terutama oleh Edward Gibbon. Para sejarawan modern, misalnya G. E. M. de Ste. Croix, berupaya untuk memastikan apakah sumber-sumber Kristen membesar-besarkan ruang lingkup penganiayaan Diokletianus.

  1. ^ Gaddis, 29.
  2. ^ Catholic Encyclopedia
  3. ^ W. H. C. Frend (1984). The Rise of Christianity. Fortress Press, Philadelphia. hlm. 319. ISBN 978-0800619312. 
  4. ^ Charles Piétri, entry on "Persecutions," in The Papacy: An Encyclopedia, edited by Philippe Levillain (Routlege, 2002, originally published in French 1994), vol. 2, p. 1156.

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy