Perang Candu Pertama

Perang Candu Pertama
Bagian dari Perang Candu

Kapal Uap Nemesis (1893) milik Perusahaan Hindia Timur Britania menghancurkan kapal-kapal jung Tiongkok dalam Pertempuran Chuenpee Kedua, 7 Januari 1841.
Tanggal4 September 1839 – 29 Agustus 1842
(2 tahun, 11 bulan, 3 minggu dan 4 hari)
LokasiTiongkok.
Hasil

Inggris sebagai Pemenang.

  • Perjanjian Nanking.
  • Pajak Kepala [a] diperkenalkan dan dibebankan kepada orang Tiongkok yang datang ke koloni Inggris.
Perubahan
wilayah
Pulau Hong Kong diserahkan kepada Inggris.
Dibuka lima pelabuhan perjanjian di Shanghai, Kanton (Guangzhou), Ningpo (Ningbo), Fuchow (Fuzhou), dan Amoy (Xiamen).
Pihak terlibat

 Britania Raya

Dinasti Qing.
Tokoh dan pemimpin
Kekuatan

19.000 Tentara [1]

37 Kapal:[1]

222.212 Tentara

Korban
18.000–20.000 tewas dan luka-luka.[1]
1 Terdiri dari 5 Kapal pengangkut tentara, 3 Brig, 2 Kapal Uap, 1 Kapal Survei, dan 1 Kapal Rumah Sakit Terapung.
2 Mengacu pada jumlah pasukan di provinsi-provinsi yang berada di medan perang, tetapi hanya sekitar 100.000 tentara yang bertempur, atau dimobilisasi untuk perang.[4]
3 Korban termasuk Pasukan Delapan Panji Manchu dan keluarga mereka yang melakukan bunuh diri massal di Pertempuran Chapu dan Pertempuran Chinkiang.[5][6]

Perang Candu Pertama (Hanzi: 第 一次 鴉片戰爭; Pinyin: Dìyīcì Yāpiàn Zhànzhēng), Perang Opium Pertama atau Perang Inggris-Tiongkok Pertama adalah perang antara Perusahaan Hindia Timur Britania melawan Dinasti Qing di Tiongkok dari tahun 1839 hingga 1842 dengan tujuan memaksa Tiongkok mengimpor opium dari Britania Raya. Pejabat Tiongkok melarang keras perdagangan opium, dan mengancam hukuman mati bagi yang melanggar. Hal ini menyebabkan pemerintah Inggris merasa tersinggung karena pada saat itu sedang mendominasi perdagangan dan jauh lebih kuat secara militer. Britania Raya memenangkan perang ini dan memperoleh kekuasaan terhadap Hong Kong serta menjatuhkan hukuman denda kepada Tiongkok dan pihak Barat mendapatkan hak-hak istimewa dalam bertransaksi dengan Tiongkok.

Permintaan barang-barang mewah asal Tiongkok (terutama sutra, porselen, dan teh) menyebabkan ketidakseimbangan perdagangan antara Tiongkok dan Inggris. Perdagangan perak global dari abad 16 hingga 18 dari Eropa ke Tiongkok harus mematuhi Sistem Kanton, yang membatasi perdagangan luar negeri Tiongkok hanya boleh masuk melalui kota pelabuhan di selatan yaitu Kanton. Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, Perusahaan Hindia Timur Britania mulai menanam candu di Benggala (sekarang masuk wilayah Bangladesh), dan mengizinkan para pedagang swasta Inggris menyelundupkan opium ke Tiongkok secara ilegal. Masuknya narkoba ilegal ini membalikkan neraca perdagangan Tiongkok yang tadinya surplus menjadi defisit, perekonomian menjadi tergerus karena transaksi perak, dan meningkatkan jumlah pecandu opium di dalam negeri, situasi yang sangat mengkhawatirkan bagi para pejabat Tiongkok.

Pada tahun 1839, Kaisar Daoguang, menolak proposal untuk melegalkan opium termasuk pajaknya, ia menunjuk Raja Muda Lin Zexu untuk pergi ke Kanton guna menghentikan perdagangan opium sepenuhnya.[7] Lin menulis surat terbuka kepada Ratu Victoria, menuntut pertanggungjawaban moralnya untuk menghentikan perdagangan opium.[8] Ketika tidak mendapatkan tanggapan dari Ratu, dia awalnya berusaha agar perusahaan asing bersedia menutup toko opium mereka dengan imbalan teh, tetapi usaha ini juga tidak berhasil. Kemudian Lin terpaksa menggunakan kekuatan di daerah-daerah perdagangan pihak Barat. Dia menyita semua persediaan opium yang ada dan memerintahkan untuk melakukan blokade terhadap kapal-kapal asing agar mereka menyerahkan pasokan opiumnya. Lin menyita 20.283 peti opium (sekitar 1,120 ton).[9]

Pemerintah Inggris menanggapinya dengan mengirimkan pasukan militer, dengan menggunakan kekuatan Angkatan Laut Britania Raya dan meriamnya, mengakibatkan Kekaisaran Tiongkok menderita serangkaian kekalahan telak,[10] taktik ini kemudian dikenal dengan istilah Diplomasi Kapal Perang.

Pada tahun 1842, dinasti Qing dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Nanking - ini merupakan perjanjian pertama dari beberapa perjanjian susulan lainnya yang disebut sebagai Perjanjian Tidak Adil oleh pihak Tiongkok - yang mengharuskan Tiongkok memberikan ganti rugi dan wilayah ekstrateritorial kepada Inggris, membuka lima pelabuhan perjanjian untuk pedagang asing, dan menyerahkan Pulau Hong Kong kepada Inggris. Kegagalan Tiongkok untuk mematuhi syarat-syarat dalam Perjanjian Tidak Adil itu, yang isinya pada dasarnya adalah untuk kepentingan pihak Inggris dari segi perdagangan dan hubungan diplomatik, menyebabkan meletusnya Perang Candu Kedua (1856-60). Dan karena dinasti Qing dianggap terlalu lemah untuk menghadapi pihak Barat, hal ini kemudian menyebabkan terjadinya Pemberontakan Taiping, di mana dinasti Qing berperang melawan Kerajaan Surgawi Taiping.[11] Di Tiongkok, perang ini dianggap sebagai permulaan sejarah Tiongkok modern.[6]


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan

  1. ^ a b c d e Martin, Robert Montgomery (1847). China: Political, Commercial, and Social; In an Official Report to Her Majesty's Government. Volume 2. London: James Madden. pp. 80–82.
  2. ^ The Chinese Repository, vol. 12, p. 248.
  3. ^ Bate 1952, p. 174.
  4. ^ Mao 2016, pp. 50–53.
  5. ^ Rait, Robert S. (1903). The Life and Campaigns of Hugh, First Viscount Gough, Field-Marshal. Volume 1. p. 265.
  6. ^ a b Makeham, John (2008). China: The World's Oldest Living Civilization Revealed. Thames & Hudson. hlm. 331. ISBN 978-0-500-25142-3. 
  7. ^ Fay (2000) p. 73
  8. ^ Teng & Fairbank 1979, hlm. 23.
  9. ^ Farooqui, Amar (March 2005). Smuggling as Subversion: Colonialism, Indian Merchants, and the Politics of Opium, 1790–1843. Lexington Books. ISBN 0-7391-0886-7. 
  10. ^ Steve Tsang, A modern history of Hong Kong (2007) p. 3-13"
  11. ^ Tsang, A modern history of Hong Kong p. 29.

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy