Dalam ekonomi pertanian, pertanian ekstensif adalah sistem pembudidayaan tanaman (atau hewan) dengan menggunakan masukan modal dan tenaga kerja yang rendah, relatif terhadap luas lahan usaha yang dipakai. Hasil yang diperoleh banyak bergantung pada kesuburan tanah asal, topografi, iklim, dan ketersediaan air. Masukan teknologi biasanya bukan hal yang mendesak karena dalam pertanian semacam ini luas lahan yang menjadi andalan.[1]
Pertanian dengan lahan yang luas mendapat keuntungan dengan penggunaan peralatan dan mesin kombinasi besar sehingga mendapat efisiensi dalam penggunaan tenaga kerja. Beberapa elemen teknologi modern barangkali juga diterapkan namun tidak sebanyak pertanian intensif. Mekanisasi bahkan menjadi ekonomis pada pertanian dengan lahan luas. Pertanian berkelanjutan mengandalkan bentuk-bentuk pertanian ekstensif dengan memasukkan teknologi pertanian yang ramah lingkungan sehingga tidak merusak tanah serta lingkungan. Contoh pertanian ekstensif adalah perkebunan tanaman industri, seperti kebun kelapa sawit. Peternakan sapi tradisional di Swiss juga dapat digolongkan sebagai pertanian ekstensif karena mencakup lahan yang luas dan tenaga kerja yang terbatas.
Program "ekstensifikasi" yang dijalankan pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru tidak ada kaitannya dengan pertanian ekstensif, meskipun bagi petani yang mengikuti program tersebut, melalui transmigrasi,[2] mendapat lahan seluas dua hektare. Program itu lebih tepat disebut "ekspansi pertanian" atau "perluasan areal pertanian".