Istilah pinisi, pinisiq, pinisi', atau phinisi mengacu pada jenis sistem layar (rig), tiang-tiang, layar, dan konfigurasi tali dari suatu jenis kapal layar Indonesia. Sebuah pinisi membawa tujuh hingga delapan layar dengan dua tiang, diatur seperti gaff-ketch dengan apa yang disebut standing gaffs — yaitu, tidak seperti kebanyakan kapal Barat yang menggunakan sistem layar semacam itu, kedua layar utama tidak dibuka dengan menarik galahnya ke atas, tetapi layarnya 'ditarik keluar' seperti tirai dari sekitar tengah tiang.
Seperti kebanyakan kapal layar Indonesia, kata 'pinisi' hanya menyebut jenis sistem layar, dan tidak merujuk pada bentuk lambung kapal yang menggunakan layar tersebut. Kapal dengan layar pinisi sebagian besar dibangun oleh masyarakat desa Ara yang berbahasa Makassar, sebuah desa di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan banyak digunakan oleh pelaut suku Makassar sebagai kapal kargo (lihat pula #Kesalahpahaman umum mengenai pinisi). Pada tahun-tahun sebelum hilangnya angkutan bertenaga angin dalam rangka motorisasi armada perdagangan tradisional Indonesia pada tahun 1970/80-an, kapal yang menggunakan sistem layar pinisi adalah kapal layar Indonesia terbesar.
UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Takbenda pada Sesi ke-12 Komite Warisan Budaya Unik pada tanggal 7 Desember 2017.[1]