Ranavalona I | |
---|---|
Ratu Madagaskar | |
Berkuasa | 11 Agustus 1828 – 16 Agustus 1861 |
Penobatan | 12 Agustus 1829 |
Pendahulu | Radama I |
Penerus | Radama II |
Kelahiran | 1778 Ambatomanoina |
Kematian | 16 Agustus 1861 (usia 82/83) Manjakamiadana, Rova Antananarivo |
Pemakaman | 1861/1893 (dimakamkan kembali) Ambohimanga/Makam Para Ratu, Rova Antananarivo (dimakamkan kembali) |
Pasangan | |
Keturunan | Radama II |
Ayah | Andriantsalamanjaka (Andrianavalontsalama) |
Ibu | Rabodonandriantompo |
Ranavalona I (lahir dengan nama Rabodoandrianampoinimerina (Ramavo) sekitar tahun 1778 – meninggal 16 Agustus 1861), juga dikenal dengan nama Ranavalo-Manjaka I, adalah penguasa Kerajaan Madagaskar dari tahun 1828 hingga 1861. Ia menjadi ratu setelah kematian suami mudanya, Radama I. Ranavalona menerapkan kebijakan isolasionisme dan swasembada, mengurangi hubungan ekonomi dan politik dengan negara-negara Eropa, memukul mundur serangan Prancis di kota pesisir Foulpointe, dan mengambil langkah-langkah keras untuk membasmi pergerakan Kristen di Madagaskar yang sebelumnya diprakarsai oleh anggota London Missionary Society pada masa pemerintahan Radama I. Ia sangat sering memanfaatkan praktik tradisional fanompoana (kerja paksa sebagai pembayaran pajak) untuk menyelesaikan proyek-proyek pekerjaan umum dan mewamilkan pasukan hingga jumlahnya mencapai 20.000 hingga 30.000 orang. Pasukan ini lalu ia kerahkan untuk menundukkan wilayah-wilayah terpencil di Madagaskar dan memperluas kerajaan. Akibat peperangan, wabah penyakit, kerja paksa dengan kondisi yang buruk, dan sistem peradilan yang kejam, tingkat kematian di kalangan prajurit dan rakyat jelata pada masa kekuasaannya selama 33 tahun sangatlah tinggi.
Meskipun sangat terhalang oleh kebijakan-kebijakan Ranavalona, kepentingan politik Britania dan Prancis di Madagaskar tetap tidak sirna. Perpecahan antara kelompok tradisionalis dengan kelompok pro-Eropa di istana ratu menjadi kesempatan yang dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa agar anaknya, Rakoto, bisa segera naik takhta. Sang pangeran muda tidak setuju dengan berbagai kebijakan ibunya, dan ia menerima usulan Prancis untuk memanfaatkan sumber daya alam di pulau Madagaskar, sebagaimana dinyatakan dalam Piagam Lambert yang ia susun bersama dengan perwakilan Prancis pada tahun 1855. Namun, rencana ini tidak pernah terwujud, dan Rakoto baru dapat naik takhta dengan nama "Radama II" setelah kematian Ranavalona pada tahun 1861.
Akibat kebijakan-kebijakannya, Ranavalona menuai kecaman dari orang-orang Eropa yang sezaman dengannya, dan ia digambarkan sebagai seorang tiran atau bahkan sebagai orang gila. Citra negatif ini masih terus berlanjut di dalam literatur-literatur sejarah Barat hingga pertengahan dasawarsa 1970-an. Hasil kajian akademik baru-baru ini telah menelurkan pandangan bahwa Ranavalona mencoba memperluas wilayah kerajaannya sembari mempertahankan kedaulatannya dari rongrongan bangsa Eropa.