Reaksi berantai polimerase

Alat pengatur siklus suhu yang biasanya digunakan pada teknik reaksi berantai polimerase

Reaksi berantai polimerase (bahasa Inggris: polymerase chain reaction, disingkat PCR) adalah metode untuk menciptakan jutaan hingga miliaran salinan dari segmen asam deoksiribonukleat (DNA) tertentu, yang memungkinkan ilmuwan untuk melipatgandakan sampel DNA yang sangat sedikit hingga mencapai jumlah yang cukup untuk dipelajari secara detail. Metode ini ditemukan pada tahun 1983 oleh Kary Mullis, ahli biokimia Amerika Serikat. Secara garis besar, sejumlah kecil urutan DNA diperbanyak secara eksponensial melalui rangkaian siklus perubahan suhu. Banyak pengujian biologi molekuler dan genetika dilakukan dengan PCR, misalnya analisis sampel DNA purba dan identifikasi agen infeksi. Saat ini, PCR merupakan teknik umum yang sangat diperlukan pada laboratorium medis, termasuk untuk riset biomedis dan kedokteran forensik.[1][2]

Sebagian besar PCR mengandalkan mesin pengatur siklus suhu. Mesin ini membuat bahan-bahan pereaksi mengalami siklus pemanasan dan pendinginan yang berulang. Hal ini memungkinkan terjadinya berbagai reaksi kimia yang bergantung pada suhu, khususnya pelelehan DNA dan replikasi DNA. Ada dua pereaksi utama yang digunakan dalam PCR, yaitu primer (fragmen DNA unting tunggal pendek [oligonukleotida] yang merupakan urutan komplemen wilayah DNA target) dan enzim DNA polimerase. Pada langkah pertama, dua unting DNA heliks ganda dipisahkan secara fisik pada suhu tinggi dalam proses yang disebut denaturasi asam nukleat. Pada langkah kedua, suhu diturunkan dan primer berikatan pada urutan DNA komplementer. Kedua unting DNA tersebut lalu menjadi templat yang ditempeli DNA polimerase untuk merakit unting DNA baru dari nukleotida bebas, bahan penyusun DNA yang ditambahkan sebagai pereaksi. Seiring dengan berlangsungnya PCR, salinan DNA yang dihasilkan dengan sendirinya menjadi templat untuk replikasi berikutnya sehingga tercipta reaksi berantai. Akhirnya, templat DNA asli diamplifikasi (diperbanyak) secara eksponensial.

Hampir semua aplikasi PCR menggunakan DNA polimerase yang tahan panas, seperti Taq polimerase, enzim yang awalnya diisolasi dari bakteri termofilik Thermus aquaticus. Jika polimerase yang digunakan peka terhadap panas, enzim tersebut akan mengalami perubahan sifat pada suhu tinggi pada langkah denaturasi. Sebelum Taq polimerase dipakai, enzim DNA polimerase harus ditambahkan secara manual setiap siklus sehingga proses ini menjemukan dan mahal.[3]

Penerapan teknik ini termasuk kloning DNA untuk pengurutan DNA, manipulasi gen, dan mutagenesis gen; konstruksi pohon filogenetika berbasis DNA atau analisis fungsional gen; diagnosis dan pemantauan penyakit keturunan; amplifikasi DNA purba, analisis profil DNA (misalnya dalam ilmu forensik dan identifikasi orang tua); serta deteksi patogen untuk mendiagnosis penyakit menular.

  1. ^ Saiki RK, Scharf S, Faloona F, Mullis KB, Horn GT, Erlich HA, Arnheim N (December 1985). "Enzymatic amplification of beta-globin genomic sequences and restriction site analysis for diagnosis of sickle cell anemia". Science. 230 (4732): 1350–4. Bibcode:1985Sci...230.1350S. doi:10.1126/science.2999980. PMID 2999980. 
  2. ^ Saiki RK, Gelfand DH, Stoffel S, Scharf SJ, Higuchi R, Horn GT, et al. (January 1988). "Primer-directed enzymatic amplification of DNA with a thermostable DNA polymerase". Science. 239 (4839): 487–91. Bibcode:1988Sci...239..487S. doi:10.1126/science.239.4839.487. PMID 2448875. 
  3. ^ Enners, Edward; Porta, Angela R. (2012). "Determining Annealing Temperatures for Polymerase Chain Reaction". The American Biology Teacher. 74 (4): 256–260. doi:10.1525/abt.2012.74.4.9. 

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy