SARS-CoV-1
| |
---|---|
Severe acute respiratory syndrome coronavirus | |
Penyakit | SARS |
Taksonomi | |
Kerajaan | Orthornavirae |
Filum | Pisuviricota |
Kelas | Pisoniviricetes |
Ordo | Nidovirales |
Famili | Coronaviridae |
Genus | Betacoronavirus |
Spesies | Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus |
Tanpa nilai | Severe acute respiratory syndrome coronavirus |
Tata nama | |
Sinonim takson |
|
Error in template * unknown parameter name (Infobox spesies): "image_size; parent; image_alt; authority; species" SARS-CoV-1, disebut juga sebagai Koronavirus sindrom pernapasan akut berat, SARS-CoV, dan SARSr-CoV (Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus) adalah virus yang menyebabkan sindrom pernapasan akut berat (SARS).[2] Pada 16 April 2003, setelah berjangkitnya SARS di Asia dan kasus sekunder di tempat lainnya di dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan siaran pers yang menyatakan bahwa koronavirus yang diidentifikasi oleh sejumlah laboratorium, adalah sebagai penyebab resmi SARS. Sampel virus tersebut disimpan di laboratorium Kota New York, San Francisco, Manila, Hong Kong, dan Toronto
Pada 12 April 2003, para ilmuwan yang bekerja di Pusat Sains Genom Michael Smith di Vancouver selesai memetakan urutan genetik virus korona yang diyakini terkait dengan SARS. Tim ini dipimpin oleh Dr. Marco Marra, berkolaborasi dengan Pusat Pengendalian Penyakit dan Laboratorium Mikrobiologi Nasional British Columbia di Winnipeg, Manitoba, menggunakan sampel dari pasien yang terinfeksi di Toronto. Peta tersebut, dipuji oleh WHO sebagai langkah maju yang penting dalam memerangi SARS, dibagikan kepada para ilmuwan di seluruh dunia melalui situs web GSC. Dr. Donald Low dari Rumah Sakit Mount Sinai di Toronto menggambarkan penemuan tersebut dibuat dengan "kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya".[3] Sejak itu urutan koronavirus SARS telah dikonfirmasi oleh kelompok independen lainnya.
Koronavirus SARS adalah salah satu dari beberapa virus yang diidentifikasi oleh WHO sebagai kemungkinan penyebab epidemi di masa depan setelah epidemi Ebola, sehingga diperlukan penelitian dan pengembangan secepatnya, sebelum dan selama epidemi terhadap tes diagnostik, vaksin, dan obat-obatan.[4][5]