Sejarah Aceh

Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Prancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, Hanzi: A-tsi atau Ache)[1][2] yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh diperkirakan memiliki substrat (lapis bawah) dari rumpun bahasa Mon-Khmer [3] dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Kluet yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Kluet sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula, dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil. sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari Hikayat Aceh, Hikayat Rajah Aceh dan Hikayat Prang Sabi yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Prang Sabi (Aceh: Hikayat Perang Sabil) mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.[4]

Ada yang percaya bahwa asal usul orang Aceh adalah "suku Mantir" (atau dalam bahasa Aceh: Mantee)[5] yang dikaitkan dengan "Mantra" di Malaka dan orang berbahasa Mon-Khmer.[6] Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.[7]

  1. ^ (Inggris) Suryadinata, Leo (2005). Admiral Zheng He & Southeast Asia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 168. ISBN 9812303294, 9789812303295 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  2. ^ (Indonesia)Banda Aceh (Indonesia) (1998). Kota Banda Aceh hampir 1000 tahun. Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh. 
  3. ^ (Inggris) Summer Institute of Linguistics (2005). Mon-Khmer studies Vol.35. University Press of Hawaii. hlm. 40. 
  4. ^ (Indonesia)Alfian, Ibrahim (1992). Sastra perang: sebuah pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil. Balai Pustaka. hlm. 248. ISBN 9794074225, 9789794074220 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  5. ^ (Belanda)Hurgronje, Christiaan Snouck (1893). De Atjehers. Landsdrukkerij, Batavia. 
  6. ^ (Inggris) West, Barbara A. (2009). Facts on File library of world history, Encyclopedia of the peoples of Asia and Oceania, Vol. 2. Facts On File, University of California. hlm. 1002. ISBN 0816071098, 9780816071098 Periksa nilai: invalid character |isbn= (bantuan). 
  7. ^ (Indonesia)Zainuddin, H. M. (1961). Tarich Atjeh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda. 

From Wikipedia, the free encyclopedia · View on Wikipedia

Developed by Tubidy