Sengketa Siprus atau Isu Siprus adalah isu yang masih berlangsung dikarenakan invasi militer dan pendudukan Turki sejak 1974 terhadap sepertiga bagian utara pulau tersebut, suatu situasi yang digambarkan dan disesalkan dalam beberapa laporan dan resolusi PBB.[1][2][3] Meskipun Republik Siprus diakui sebagai satu-satunya negara yang sah dan berdaulat atas keseluruhan pulau, bagian utara secara de facto berada di bawah pemerintahan Republik Turki Siprus Utara yang dideklarasikan sendiri; dan dilindungi oleh Angkatan Bersenjata Turki.[4] Saat ini hanya Turki yang mengakui Republik Turki Siprus Utara, sementara terdapat pengakuan luas bahwa kehadiran militer yang sedang berlangsung merupakan pendudukan wilayah-wilayah yang menjadi milik Republik Siprus. Menurut Mahkamah Hak Asasi Manusia Eropa, Republik Turki Siprus Utara harus dianggap sebagai sebuah negara boneka di bawah penguasaan efektif Turki.[5][6]
Awalnya, dengan pencaplokan pulau oleh Imperium Britania dari Kesultanan Utsmaniyah, "sengketa Siprus" digambarkan sebagai konflik antara rakyat Siprus dan Kerajaan Britania mengenai tuntutan rakyat Siprus untuk penentuan nasib sendiri. Namun, konflik tersebut akhirnya berubah, di bawah pemerintahan Britania, dari sebuah sengketa kolonial menjadi sengketa etnis antara orang Turki dan penduduk pulau orang Yunani.[7] Komplikasi internasional dari sengketa ini membentang jauh melampaui batas-batas pulau Siprus itu sendiri dan melibatkan kekuatan penjamin berdasarkan Perjanjian Zürich dan London (Turki, Yunani, dan Britania Raya), Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Uni Eropa, bersama dengan (tidak resmi) Amerika Serikat.[8]
Kudeta Siprus 1974 memicu Turki untuk menyerbu,[9] dan menduduki bagian utara dari Republik Siprus yang diakui secara internasional. Pada tahun 1983, komunitas orang Siprus keturunan Turki secara sepihak mendeklarasikan kemerdekaan dengan membentuk Republik Turki Siprus Utara (TRNC), sebuah entitas berdaulat yang tidak memiliki pengakuan internasional kecuali Turki,[10][11] di mana dengannya TRNC menikmati hubungan diplomatik penuh, melanggar Resolusi 550 yang disetujui pada 11 Mei 1984 oleh Dewan Keamanan PBB.
Sebagai hasil dari kedua komunitas dan negara penjamin yang berkomitmen untuk menemukan solusi damai atas sengketa tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa mempertahankan suatu zona penyangga ("Garis Hijau") untuk menghindari ketegangan dan permusuhan lanjutan antarkomunitas. Zona ini memisahkan wilayah selatan Republik Siprus (terutama dihuni oleh orang Siprus keturunan Yunani), dengan wilayah utara (di mana orang-orang Siprus keturunan Turki bersama dengan para pemukim Turki merupakan mayoritas saat ini). Beberapa tahun terakhir telah terlihat menghangatnya hubungan antara orang Siprus keturunan Yunani dan Turki, dengan perundingan reunifikasi yang diperbarui mulai secara resmi pada awal 2014.[12][13]