Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. (Oktober 2023) |
Serangan Umum 4 Hari | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia | |||||||
Monumen Serangan Umum 4 Hari Surakarta | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Indonesia | Belanda | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Pakubuwana XII Mangkunegara VIII Kolonel Gatot Subroto Letnan Kolonel Slamet Riyadi Mayor Achmadi Hadisoemarto |
Van Vreeden Mollinger | ||||||
Pasukan | |||||||
| 11 Batalyon Tentara Belanda | ||||||
Kekuatan | |||||||
±1400 Prajurit | ±400 Prajurit | ||||||
Korban | |||||||
520 prajurit tewas dan 300 anggota polisi tewas. | 32 prajurit tewas , 53 orang anggota polisi luka-luka; selain itu 47 orang mendapat luka-luka. |
Serangan Umum Surakarta atau disebut Serangan Umum Empat Hari atau juga disebut Pengepungan Surakarta berlangsung pada tanggal 7 -10 Agustus 1949 secara gerilya oleh para pejuang, pelajar, dan mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa yang berjuang tersebut kemudian dikenal sebagai tentara pelajar. Mereka berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Surakarta dan sekitarnya. Menurut catatan sejarah, serangan itu digagas di kawasan Monumen Banjarsari, Surakarta. Untuk menyusun serangan, para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen dari situlah ide untuk melakukan serangan umum dikobarkan.
Mereka yang melakukan serangan bergabung dalam Detasemen II Brigade 17 Surakarta yang dipimpin Mayor Achmadi Hadisoemarto. Untuk menggempur markas penjajah, serangan dilakukan dari empat penjuru kota Surakarta. Rayon I dari Polokarto dipimpin Suhendro, Rayon II dipimpin Sumarto). Sementara itu Rayon III dengan komandan Prakosa, Rayon IV dikomandani A Latif (almarhum), serta Rayon Kota dipimpin Hartono. Menjelang pertengahan pertempuran Slamet Riyadi dengan pasukan Brigade V/Panembahan Senopati turut serta dan menjadi tokoh kunci dalam menentukan jalannya pertempuran.
Kegagalan Tentara Kerajaan Belanda mempertahan Kota Surakarta menggoyahkan keyakinan Parlemen Belanda atas kinerja tentaranya. Sehingga memaksa perdana menteri Drees terpaksa mengakomodasi tuntutan delegasi Indonesia sebagai syarat sebelum mereka bersedia menghadiri Konferensi Meja Bundar.[1]